PANGGAYO Sosial Budaya Molukse Wijk, Jejak Panjang Diaspora Maluku di Belanda

Molukse Wijk, Jejak Panjang Diaspora Maluku di Belanda

One Book One Hope
Foto: Molukse Wijk Commissie Moordrecht/Facebook

Panggayo.com – Di tengah lanskap kota-kota kecil Belanda, berdiri kawasan-kawasan tenang dengan nama khas: Molukse wijk, distrik perumahan yang menjadi rumah bagi ribuan keturunan Maluku. Di sinilah denyut kehidupan komunitas Maluku berdetak sejak lebih dari tujuh dekade lalu, membawa cerita tentang perang, pengungsian, identitas, dan ketahanan budaya yang luar biasa.

Dari Perang ke Pengasingan
Kisah ini berawal dari masa pasca-Perang Dunia II. Ketika Belanda berupaya merebut kembali kekuasaan di Indonesia, perjuangan kemerdekaan terus berkobar. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, kesepakatan awal membentuk federasi negara-negara Indonesia segera berubah arah. Pemerintah Indonesia memilih sistem negara kesatuan, langkah yang memicu kekecewaan bagi sebagian masyarakat Maluku.

Sebagai respons, pada tahun 1950 kaum nasionalis Maluku mendeklarasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Deklarasi itu memantik operasi militer Indonesia ke wilayah Maluku Selatan dan melahirkan perang saudara yang pahit.

Di tengah kekacauan itu, ribuan tentara Maluku yang pernah bertugas untuk Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) bersama keluarga mereka, dievakuasi ke Belanda pada tahun 1951. Mereka disebut akan “sementara” tinggal di sana hingga situasi pulih. Namun, “sementara” itu berubah menjadi perjalanan panjang lintas generasi.

Kehidupan di Bekas Kamp Nazi
Setibanya di Belanda, sekitar 12.500 orang Maluku ditempatkan di bekas kamp konsentrasi Nazi, seperti Westerbork dan Vught. Kamp-kamp itu dingin, terpencil, dan jauh dari bayangan kehidupan baru yang dijanjikan.

Pemerintah Belanda awalnya berniat menegosiasikan kemerdekaan Maluku agar para pengungsi bisa kembali. Namun rencana itu tidak pernah terwujud. Ketegangan sosial meningkat, dan kerusuhan beberapa kali pecah ketika pemerintah mencoba memindahkan warga dari kamp.

Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah membangun permukiman khusus bernama Molukse wijk — kawasan yang dirancang untuk menampung dan melestarikan komunitas Maluku. Tercatat ada 71 distrik yang berdiri di berbagai wilayah Belanda, lengkap dengan gereja, pusat komunitas, dan sistem pengelolaan internal berbasis masyarakat.

Sebuah Komunitas dalam Komunitas
Awalnya, Molukse wijk diatur secara semi-otonom. Polisi, misalnya, hanya dapat masuk ke kawasan setelah berkoordinasi dengan dewan lokal. Sistem ini menumbuhkan rasa kebersamaan dan identitas tersendiri bagi komunitas Maluku di negeri asing.

Meski begitu, kehidupan di wijk tidak selalu mudah. Masyarakat Maluku menghadapi diskriminasi, kesenjangan pendidikan, dan keterbatasan akses pekerjaan. Data dari Netherlands Institute for Social Research tahun 2009 menunjukkan sekitar 45 persen generasi kedua dan 40 persen generasi ketiga orang Maluku masih tinggal di wijk. Angka ini mencerminkan bagaimana keterikatan sosial dan budaya di antara komunitas tetap kuat, bahkan di tengah tantangan modernisasi.

Dari Trauma ke Pengakuan
Butuh waktu panjang hingga pemerintah Belanda mengakui peran dan kontribusi masyarakat Maluku. Pada tahun 1986, sebuah pernyataan bersama antara pemimpin masyarakat Maluku, Pendeta Metiarij, dan Perdana Menteri Ruud Lubbers menjadi tonggak penting. Pemerintah memberikan tunjangan bagi veteran Maluku, mendirikan Museum Maluku sebagai pusat kebudayaan, dan menciptakan program lapangan kerja bagi pemuda Maluku.

Langkah itu menandai perubahan paradigma: dari komunitas pengungsi menjadi bagian integral dari masyarakat Belanda.

Kebangkitan Bahasa dan Identitas
Kini, generasi kedua dan ketiga masyarakat Maluku tengah menapaki babak baru dalam perjalanan identitas mereka. Setelah sekian lama bahasa-bahasa daerah disembunyikan demi persatuan, muncul gerakan untuk menghidupkannya kembali.

Pada tahun 1998, masyarakat Saparua menyusun kamus bahasa mereka sendiri. Kelas-kelas bahasa mulai digelar, dan para penyair serta seniman muda menggabungkan kosakata bahasa tanah dalam karya mereka. Di universitas-universitas Eropa, riset akademik mengenai bahasa Maluku kembali bergairah, menandakan kebangkitan kultural yang tak lagi terikat batas geografis.

Antara Kenangan dan Kekhawatiran
Meski Molukse wijk kini menjadi simbol sejarah dan identitas, kekhawatiran tetap ada. Masuknya penduduk non-Maluku ke kawasan tersebut memicu rasa kehilangan di sebagian kalangan. Protes dan vandalisme sempat terjadi, diiringi lahirnya kelompok seperti Maluku Maju di Hoogeveen yang memperjuangkan pelestarian karakter khas wijk.

Bagi banyak orang Maluku, Molukse wijk bukan sekadar lingkungan tempat tinggal. Ia adalah monumen hidup tentang pengasingan, perjuangan, dan kebanggaan. Di sanalah sejarah kolonial dan diaspora berjumpa dalam satu ruang sosial yang terus beradaptasi — tapi tak pernah melupakan asal-usulnya.

“Kami datang bukan untuk menetap. Tapi sejarah berkata lain.”

Kalimat ini kerap terdengar di tengah komunitas Maluku di Belanda. Dari kamp pengungsian hingga permukiman modern, Molukse wijk adalah saksi bisu sebuah perjalanan panjang: dari tanah tropis ke Eropa utara, dari perang menuju pencarian jati diri — kisah yang masih berlanjut hingga hari ini. (fir)

Jasa Fotografi