PANGGAYO Sosial Budaya Ketika Orang Bodoh Jadi Terkenal, Ancaman Baru di Ruang Publik

Ketika Orang Bodoh Jadi Terkenal, Ancaman Baru di Ruang Publik

One Book One Hope


Panggayo.com – Di era media sosial, reality show, dan budaya influencer, ketenaran dan kekayaan kini lebih mudah diraih dibanding era sebelumnya. Namun, kemudahan ini melahirkan pertanyaan besar: apakah kita sedang memberi panggung yang terlalu besar bagi orang-orang yang sebetulnya tidak pantas mendapatkannya?

Fenomena “membuat orang bodoh terkenal” bukan sekadar candaan internet. Ini adalah gejala sosial yang membawa dampak serius terhadap nilai, pola pikir, hingga arah kemajuan masyarakat.

Dari Prestasi ke Sensasi
Dulu, seseorang baru dikenal luas setelah menorehkan prestasi: entah di dunia seni, olahraga, ilmu pengetahuan, atau kontribusi nyata bagi masyarakat. Kini, hal itu bergeser. Banyak figur mendadak terkenal hanya karena tingkah kontroversial atau konten viral.

Fenomena “famous for being famous” atau “terkenal hanya karena terkenal” menjamur. Sosok selebritas instan muncul bukan berkat karya atau keahlian, melainkan karena keberaniannya memicu sensasi. Dampaknya, masyarakat mulai lebih menghargai drama ketimbang kualitas, serta lebih mengidolakan gaya hidup ketimbang substansi.

Saat Kebodohan Mendapat Panggung
Ketenaran membawa pengaruh. Figur publik, meski tanpa kapasitas memadai, sering menjadi rujukan dalam isu-isu penting, dari politik, kesehatan, hingga gaya hidup.

Kita pernah melihat selebritas tanpa latar belakang sains mempromosikan praktik kesehatan yang tak terbukti bahkan membahayakan. Ada juga influencer yang tanpa sadar melanggengkan stereotip budaya dan sejarah yang keliru. Dengan jutaan pengikut, opini keliru itu berubah menjadi “kebenaran” semu yang dengan cepat menyebar.

Normalisasi Perilaku Buruk
Bahaya lain muncul ketika perilaku sembrono atau tidak bertanggung jawab justru dirayakan. Anak muda dan audiens yang rentan cenderung meniru idola mereka, tanpa peduli apakah tindakan itu membawa manfaat. Dari budaya konsumtif, pamer kekayaan, hingga perilaku merusak, semua bisa dianggap lumrah karena sudah dibungkus “popularitas”.

Akibatnya, masyarakat makin terjebak pada pola pikir instan: mencari pengakuan diri dan kepuasan sesaat, sambil menyingkirkan nilai empati, kebersamaan, dan pertumbuhan pribadi.

Kaya Karena Kontroversi
Ketenaran di era digital juga berarti peluang ekonomi besar. Banyak figur viral berhasil mengubah popularitasnya menjadi kontrak iklan, kerja sama merek, hingga miliaran rupiah pendapatan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang tidak memberi nilai tambah apa pun bagi masyarakat.

Pesan terselubungnya berbahaya: kesuksesan bisa diraih tanpa pendidikan, kerja keras, atau kontribusi. Bagi generasi muda, ketenaran terlihat sebagai jalan pintas menuju kemewahan. Sementara itu, profesi penting seperti tenaga medis, guru, atau peneliti justru dihargai jauh lebih rendah dibanding konten sensasional di media sosial.

Pendidikan yang Tergeser
Ketika ketenaran lebih dihargai daripada pengetahuan, pendidikan kehilangan makna. Banyak pesan yang dipromosikan influencer justru meremehkan pentingnya berpikir kritis dan menuntut ilmu.

Sekolah dan orang tua pun kewalahan. Bagaimana bisa menumbuhkan rasa ingin tahu intelektual jika anak-anak melihat idola mereka sukses tanpa perlu belajar atau bekerja keras? Jika hal ini dibiarkan, kualitas diskursus publik akan terus menurun, dan masyarakat kehilangan daya kritisnya.

Saatnya Kembali ke Pendidikan
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Jawabannya sederhana tapi fundamental: menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama.

  • Dukung media bermakna: pilih untuk mengikuti dan mengapresiasi figur yang memiliki integritas, keahlian, dan tanggung jawab sosial.
  • Ajarkan literasi media: sekolah perlu mengajarkan bagaimana menyaring informasi dan membedakan antara pengaruh dan keahlian.
  • Tampilkan panutan sejati: angkat sosok yang berprestasi nyata, dari pendidik, ilmuwan, hingga pekerja publik yang memberi dampak.
  • Bangun budaya berpikir kritis: dorong masyarakat untuk tidak mudah percaya, sekaligus berani mempertanyakan informasi yang berseliweran di layar.

Jangan Rayakan Kebodohan
Budaya “membuat orang bodoh terkenal” mencerminkan nilai masyarakat yang melenceng. Ketenaran seharusnya tidak menjadi hadiah bagi kebodohan atau perilaku tak bertanggung jawab.

Dengan menilai ulang siapa yang kita angkat sebagai figur publik, masyarakat bisa kembali menempatkan ilmu, integritas, dan kontribusi nyata sebagai ukuran keberhasilan.

Jika tidak, kita berisiko hidup di dunia yang justru merayakan kebodohan. Dan itu adalah masa depan yang terlalu berbahaya untuk kita biarkan terjadi.

Pada akhirnya, popularitas adalah mata uang baru. Dan kita punya kendali untuk menggunakannya dengan bijak. (fir)

Jasa Fotografi